Nganjuk | Updatenewstv- Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan Islam asal Indonesia yang didirikan oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari, kepala Pondok Pesantren Tebuireng dari Jombang, Jawa Timur.
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki anggota berkisar dari 40 juta hingga lebih dari 95 juta. Hal itu yang menjadikannya NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia.
Kiprah NU dalam politik praktis cukup diperhitungkan, khususnya setelah menjadi elemen penting Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, dengan berbagai pertimbangan, pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 dengan mengembalikan peran utama NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Dengan posisi ini, NU bergerak dalam berbagai aktivitas sosial-keagamaan.
Sementara itu, disetiap momentum pemilu menjadi pesta demokrasi seluruh masyarakat Indonesia dalam menentukan pilihannya.
Di tingkat Pemilihan Presiden, Wakil Rakyat DPR RI hingga Daerah, serta ditingkat Pilkada atau Pemilihan Bupati, masyarakatlah yang menjadi tujuan pendulangan suara.
Para calon pastinya berbondong-bondong berusaha memikat hati masyarakat serta berbagai elemen masyarakat dan Ormas, tak terkecuali organisasi Agama hingga Lembaga Agama agar dapat memenangkan suara dalam pemilu.
Seperti yang saat ini terjadi di Pilkada serentak di Indonesia, dalam Pemilihan Bupati dan Walikota di Jawa Timur.
Di Kabupaten Nganjuk tampak pesta demokrasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Nganjuk di dominasi perebutan suara dari kalangan warga NU.
Gerbong NU (Nahdlatul Ulama) PCNU Nganjuk terlihat menjadi rebutan para calon di Pilkada Kabupaten Nganjuk.
Peran nahdlatul ulama atau warga NU menjadi target penting di Kabupaten Nganjuk. Saat Pilkada tahun ini, menjadi branding serta lumbung suara para calon.
Khittah NU di Muktamar Situbondo tahun 1984, menjadi pengingat arah NU yang seharusnya, khususnya di PCNU Kabupaten Nganjuk, menjadi contoh serta sikap warga NU yang seharusnya pada momentum Pilkada.
Hal ini menjadi ironis apabila adanya Oknum-oknum yang mengatasnamakan agama, serta organisasi NU bermunculan dalam setiap Pemilu Pilkada, seakan menjadi strategi ampuh para calon seperti merangkul tokoh NU, tokoh Agama, atau Kyai, tanpa menghiraukan peran NU yang sebenarnya.
Menjadi freming kuat para calon yang di dukungnya, seperti slogan “Manut Dawuhe Gus e” serta “Manut Kyainya” atau dalam bahasa Indonesia seperti “Nurut Perintah Gusnya” atau “Nurut Perintah Kyainya”.
Menjadi senjata kuat serta skema politik mendulang suara masyarakat warga NU, walaupun harus membawa nama oknum NU ataupun tokoh NU yang berlandaskan Agama.
Tak mengherankan warga NU atau keanggotaan warga NU menjadi organisasi Islam terbesar di dunia.
Jika diketahui, keuntungan hanya para oknum yang di atas serta masyarakat lah yang menjadi bahan lumbung suara, demi kepentingan atau keuntungan para oknum elit, dan oknum yang mengatasnamakan NU dengan memanfaatkan keuntungan di momentum pemilu.
Seluruh tokoh Agama berharap, NU dapat kembali ke khittah yang semestinya, sesuai Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 dengan mengembalikan peran utama NU sebagai Organisasi Sosial Keagamaan. Dalam Pemilu ini, NU bergerak dalam berbagai aktivitas Sosial-keagamaan.
Serta diharapkan, masyarakat dapat menjadi pemilih yang cerdas sesuai hati nurani, melihat sosok para calon pemimpin yang di anggap pantas memimpin dan membawa kemajuan, kesejahteraan masyarakat, tanpa ada intervensi dari Oknum-oknum tertentu.
(Tim)